TUGAS MAKALAH
PENGARUH TERHADAP TEKNOLOGI PANGAN DAN MAKANAN LOKAL PAPUA
NAMA : EKO TAPLO
NIM : 20140311024008
SEMSTER : III
JURUSAN : ANTROPOLOGI
TUGAS M.K :
ETNOGRAFI PAPUA I
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN
ANTROPOLOGI
UNIVERSITAS
CENDERAWASIH JAYAPURA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Teknologi pangan adalah suatu
teknologi yang menerapkan ilmu pengetahuan tentang bahan pangan khususnya
setelah panen (pasca panen) guna memperoleh manfaatnya seoptimal mungkin
sekaligus dapat meningkatkan nilai tambah dari pangan tersebut.
Dalam teknologi pangan, dipelajari sifat fisis, mikrobiologis, dan kimia dari bahan pangan dan proses yang mengolah bahan pangan tersebut.
Spesialisasinya beragam, di antaranya pemrosesan, pengawetan, pengemasan,
penyimpanan, dan sebagainya.
Sejarah teknologi pangan dimulai
ketika Nicolas Appert
mengalengkan bahan pangan, sebuah proses yang masih terus berlangsung hingga
saat ini. Namun ketika itu, Nicolas Appert mengaplikasikannya tidak berdasarkan
ilmu pengetahuan terkait pangan. Aplikasi teknologi pangan berdasarkan ilmu
pengetahuan dimulai oleh Louis Pasteur ketika mencoba untuk mencegah kerusakan akibat mikroba pada fasilitas fermentasi anggur setelah
melakukan penelitian terhadap anggur yang terinfeksi.
B.
PENGERTIAN
-
Pangan
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia sehingga pemenuhannya menjadi
salah satu hak asasi yang harus dipenuhi secara bersama-sama oleh negara dan
masyarakatnya. Pemerintah Indonesia selalu berupaya untuk mencapai kemakmuran
rakyat indonesia, salah satunya adalah meningkatkan ketahanan pangan nasional.
Pangan merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh setiap manusia.Salah
satunya adalah kebutuhan akan beras, di Indonesia beras merupakan salah satu
makanan pokok.
-
Teknologi pangan adalah suatu
teknologi yang menerapkan ilmu pengetahuan tentang bahan pangan khususnya
setelah panen (pasca panen) guna memperoleh manfaatnya seoptimal mungkin
sekaligus dapat meningkatkan nilai tambah dari pangan tersebut.
C.
MANFAAT
Adanya
teknologi pangan sangat mempengaruhi ketersediaan pangan. Alam menghasilkan
bahan pangan secara berkala, sementara kebutuhan manusia akan pangan adalah
rutin. Kita tidak mungkin menunda kebutuhan jasmani hingga masa panen tiba.
Oleh karena itu, terciptalah teknologi pengawetan sehingga makanan dapat
disimpan untuk jangka waktu yang cukup lama. Teknik pengawetan juga
memungkinkan untuk mendistribusikan bahan pangan secara merata ke seluruh
penjuru dunia. Dulu, orang-orang di Eropa tidak bisa menikmati makanan-makanan
Asia. Tetapi sekarang karena teknologi pangan setiap bangsa dapat menikmati
makanan khas bangsa lainnya.
D.
DAMPAK
Teknologi secara
umum berarti keseluruhan peralatan dan prosedur yang terus mengalami
penyempurnaan, baik di lihat dari segi pencapaian tujuan maupun proses
pelaksanaannya. Teknologi sebagai budidaya manusia dalam beradaptasi dengan
alam sesuai dengan maksud dan tujuan manusia penggunanya. Alhasil teknologi
adalah ide-ide manusia dalam mempermudah aktifitas pencapaian tujuan.
Aktifitas manusia yang dinamik dan cenderung
berkembang tanpa batas sangat mempengaruhi keadaan lingkungan hidup. Industri
yang mengalami laju pertumbuhan relatif cepat merupakan bagian dari teknologi.
Teknologi industri sebagai teknologi yang modern memiliki andil besar dalam
proses perubahan panas bumi.
BAB II
TEKNOLOGI
PANGAN DAN MAKANAN LOKAL PAPUA
A. PEMBAHASAN
Papua merupakan salah satu provinsi di
Indonesia yang mempunyai keadaan geografis unik. Provinsi Papua merupakan
Provinsi yang paling luas wilayahnya dari seluruh Provinsi di Indonesia. Luas
Provinsi Papua ± 410.660 Km2 atau merupakan ± 21% dari luas
wilayah Indonesia. Lebih dari 75% masih tertutup oleh hutan-hutan tropis yang
lebat, dengan ± 80% penduduknya masih dalam keadaan semi terisolir di daerah
pedalaman (Sumber : DPRD Papua, 2013).
Dikelilingi oleh pegunungan Jayawijaya yang menjulang hingga
daerah rawa yang membelah Papua melalui sungai Digul di selatan dan sungai
Memberami di utara, membuat tanah Papua kaya akan keragaman hayati. Dari total
luas tanah ± 410.660 Km2, baru ± 100.000 Ha yang dimanfaatkan. Tanah yang potensial untuk tanah
pertanian antara lain (a) tanah rawa pasang surut luasnya ± 76.553 Km2, (b) tanah kering luasnya ± 58.625 Km2 (Sumber
: DPRD Papua, 2013).
Karena kondisi alam ini, penduduk Papua mempunyai kebiasaan
berbeda yang membentuk ciri khas tersendiri. Bukan hanya dari segi budaya,
namun juga pola konsumsi masyarakat sebagai wujud adaptasi terhadap alam yang
melingkupi. Untuk mencukupi kebutuhan pangan, masyarakat Papua memanfaatkan
kekayaan alam yang tersedia sangat melimpah. Ubi jalar dan sagu merupakan dua
jenis tanaman pangan yang menjadi sumber kecukupan kalori masyarakat Papua.
Ubi jalar merupakan komoditas penting di Papua karena
merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk di pedalaman terutama di
kawasan lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya. di daerah pegunungan
ketinggian dengan 1.650−2.700 m diatas permukaan laut tersebut, stok tanaman
pangan yang ada terbatas. Selain ubi jalar, secara ekologis sangat
sedikit tanaman pangan yang mampu beradaptasi dan berproduksi dengan baik
dengan menggunakan teknologi sederhana (Dimyati et al :1991
dalam Rauf, 2009).
Sama halnya dengan ubi jalar, sagu juga merupakan tanaman lokal
yang menjadi sumber pangan masyarakat Papua. Sagu merupakan bahan pangan utama
bagi masyarakat Papua yang tinggal di daerah pesisir. Daerah pesisir yang
berair atau rawa merupakan tempat tumbuh berbagai jenis sagu. Pohon sagu di
Papua tumbuh secara alami tanpa tindakan budi daya dari penduduk setempat
(Rauf, 2009). Apalagi sebagian besar lahan di Papua yang potensial adalah
berupa rawa, maka sagu merupakam sumber pangan melimpah bagi masyarakat.
Namun seiring dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah
tentang revolusi hijau yang menggenjot produksi padi secara massal, sehingga
harga beras menjadi begitu murah, posisi sagu dan ubi jalar sebagai
makanan pokok masyarakat Papua pun mulai tergeser oleh beras (Budi: 2003 dalam
Rauf, 2009). Hal ini setidaknya terlihat dari jumlah produksi serta lahan tanam
ubi jalar yang terus menurun.
Tabel 1. Luas panen, produksi, dan
hasil ubi jalar di Provinsi Papua, 2003−2006.
Sementara
itu, luas panen dan produksi padi di Papua tiap tahun menunjukkan peningkatan,
seperti yang tertera di tabel bawah ini.
Walaupun
produksi padi dan luas lahannya terus meningkat, tapi berdasarkan peta
kerawanan pangan nasional (2009) yang dikeluarkan oleh Badan Ketahanan Pangan,
Provinsi Papua termasuk daerah yang mengalami kerawanan pangan parah dengan
kategori defisit tinggi yang merupakan indicator terparah. Hal ini dikarenakan
rasio antara tingkat produksi dan konsumsi tidak seimbang.
Beras sejak
awal memang bukan merupakan makanan lokal Papua. Selain daerah geografisnya
yang memang tidak cocok, beras juga bukan hasil kearifan lokal Papua yang
bersahabat dengan alam. Memaksakan beras menjadi makanan pokok dan meninggalkan
sagu serta ubi jalar dari masyarakat Papua telah menghasilkan keadaan yang
justru menjadikan Papua sebagai daerah dengan kerawanan pangan tinggi. Padahal
melalui sagu dan ubi jalar itulah masyarakat Papua sejak dulu mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya secara mandiri. Tidak perlu menunggu atau mendatangkan
pasokan pangan dari luar seperti sekarang ini.
B.
GIZI BURUK
Dengan adanya kendala terhadap ketahanan pangan tersebut
juga dapat menimbulkan berbagai masalah gizi di Papua, disebabkan karena adanya
keterbatasan dalam mengakses makanan yang nilai gizinya tinggi.
Masalah gizi buruk telah mengancam
kelangsungan hidup anak-anak di Papua sebagai akibat kurangnya asupan makanan
bergizi. Gizi buruk yang dialami anak-anak Papua sangat rentan terjangkit
berbagai macam penyakit seperti tuberkulosis (TBC), malaria dan infeksi saluran
pernapasan atas atau ispa.
Fakta telah menunjukan bahwa
kekurangan gizi di Papua yang menimpa anak terus terjadi. Bahkan dalam Oxfam GB
in Indonesia In Action, disebutkan di tahun 2005 ada sekitar 69,883 jiwa yang
menderita gizi buruk di Papua. 58 orang diantaranya meninggal dunia. Jika
dilihat secara keseluruhan, ternyata kasus kurang gizi dan gizi buruk di Papua
sudah sangat memprihatinkan. Kepala Dinas Kesehatan Papua, dr. Tigor Silaban,
pada September 2003 pernah mencatat sebanyak 27,3 % balita menderita kekurangan
gizi. Prevalensi kurang gizi tertinggi disebutkan terdapat di Kabupaten Puncak
Jaya, yakni 61,8 % dan yang terendah di Kabupaten Sorong, yaitu 20,2 %.
Sedangkan rata-rata, prevalensi gizi buruk di Provinsi Papua sebesar 16 % dan
gizi kurang 28,9 %.
Pada tahun 2005, angka kurang gizi
di Papua sedikit menurun menjadi 14,3 %. Sedangkan gizi buruk 3,7 %.
Dengan demikian, total gizi kurang dan gizi buruk adalah sebesar 18,0 %.
Menurut Silaban, tidak ada anak balita meninggal dunia karena masalah gizi.
Kalaupun ada, hal itu akibat komplikasi dengan penyakit. Meski begitu, angka
kematian balita masih cukup tinggi di Papua. Tahun 2003, menurut data Dinkes
Papua, setiap tahun lebih dari 9.000 balita, atau 156 per 1.000 kelahiran
hidup, di enam kabupaten meninggal dunia. Kematian bayi sebanyak 6.078 per
tahun atau sekitar 112 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian ibu
mencapai 578 per tahun atau sekitar 1.161 per 100.000 kelahiran hidup.
Data yang disampaikan UNICEF, PBB,
pada Februari 2003 ternyata lebih memprihatinkan lagi. Meski tidak
disebutkan akibat gizi buruk namun kematian bayi pada sejumlah daerah miskin di
Indonesia, tetap menjadi perhatian serius badan internasional itu. Termasuk
juga di Papua. UNICEF menyebutkan, angka kematian bayi dan balita di Papua
adalah tertinggi di dunia, yakni mencapai 186/1000 kelahiran hidup dan angka
kematian bayi 122/1000 kelahiran hidup. Selain itu, 12% anak-anak balita di
Papua menderita kekurangan berat badan yang parah. Untuk angka kesehatan ibu
dan anak, UNICEF memperkirakan 3,000 orang anak dari 60,000 bayi yang baru
lahir meninggal sebelum mencapai usia satu tahun. Sedangkan untuk balita, dari
1000 anak, 60 di antaranya meninggal dunia. Begitu pun ibu. Dari 100.000
kelahiran hidup, 500 di antaranya meninggal dunia.
Namun demikian, hingga kini produk pangan lokal Indonesia
belum mampu untuk mematahkan dominasi pangan dari beras atau tepung terigu.
Salah satu penyebabnya adalah rendahnya inovasi teknologi terhadap produk
pangan lokal tersebut. Di sisi lain, di era global ini, tuntutan konsumen
terhadap pangan terus berkembang. Selera konsumen menjadi faktor yang sangat
penting untuk diperhatikan oleh setiap produsen. Di samping itu, Inovasi
teknologi terhadap pangan lokal bukan saja terhadap aspek mutu, gizi, dan keamanan
yang selama ini didengungkan oleh berbagai pihak. Inovasi teknologi juga harus
menyentuh aspek preferensi konsumen, yaitu kesesuaian; baik kesesuaian terhadap
selera, kebiasaan, kesukaan; kebudayaan, atau terlebih lagi terhadap
kepercayaan/agama.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Provinsi
Papua merupakan salah satu daerah yang memiliki keragaman sumber daya hayati
yang cukup tinggi, termasuk tanaman sumber pangan lokal. Sumber pangan lokal
Papua yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat
adalah ubi jalar, talas, sagu, gembili, dan jawawut. Pangan lokal tersebut
telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Papua. Masyarakat yang berdomisili di
daerah pegunungan umumnya mengonsumsi ubi jalar, talas, dan gembili, sedangkan
yang tinggal di pantai memanfaatkan sagu sebagai pangan pokok. Beberapa jenis
ubi jalar, talas, dan sagu telah beradaptasi dengan baik dan dikonsumsi
masyarakat Papua secara turun temurun. Dengan demikian, komoditas tersebut
perlu dikembangkan sebagai sumber pangan utama bagi masyarakat
sehingga
mengurangi ketergantungan pada pangan yang berasal dari beras. Selain digunakan
sebagai sumber pangan utama dan untuk upacara adat, komoditas pangan lokal
Papua juga telah dikembangkan menjadi produk olahan seperti kue kering yang
dikelola dalam skala industri rumah tangga. Tulisan ini membahas pemanfaatan
pangan lokal Papua sebagai sumber pangan alternatif yang diharapkan dapat
menjadi sumber pangan untuk mendukung ketahanan pangan pada tingkat regional
maupun nasional.
B.
SARAN
meskipun penulisan makalah ini jauh dari
sempurna dan Masih banyak
kesalahan dalam penulisan makalah saya membutuhkan saran/ kritikan
dari ibu
agar bisa menjadi motivasi saya untuk penluisan
makalah ke
depan yang lebih baik dari
pada
yang sekarang ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Badan Ketahanan Pangan. 2009. Peta Ketahanan
dan Kerentanan Pangan Indonesia. Diakses darihttp://bkp.deptan.go.id/file/petapangan/FSVA_Report.pdf
Gambaran Umum Papua, diakses dari http://www.dprp.go.id/index.php?option=com_content&do_pdf=1&id=60&showall=1
http://www.badanketahananpangan.com/Rauf, A. Wahid,Martina
Sri Lestari. 2009. Pemanfaatan Komoditas Pangan Lokal Sebagai Sumber Pangan Alternatif
Di Papua. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua, Diakses DariHttp://Pustaka.Litbang.Deptan.Go.Id/Publikasi/P3282093.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar