Kamis, 29 Oktober 2015

TUGAS MAKALAH PENGARUH TERHADAP TEKNOLOGI PANGAN DAN MAKANAN LOKAL PAPUA

TUGAS MAKALAH
PENGARUH TERHADAP TEKNOLOGI PANGAN DAN MAKANAN LOKAL PAPUA



NAMA                 : EKO TAPLO
NIM                      : 20140311024008
SEMSTER           : III
JURUSAN           : ANTROPOLOGI
TUGAS M.K        : ETNOGRAFI PAPUA I

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ANTROPOLOGI
UNIVERSITAS CENDERAWASIH JAYAPURA
2015


                                   BAB I
                      PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG
Teknologi pangan adalah suatu teknologi yang menerapkan ilmu pengetahuan tentang bahan pangan khususnya setelah panen (pasca panen) guna memperoleh manfaatnya seoptimal mungkin sekaligus dapat meningkatkan nilai tambah dari pangan tersebut.
 Dalam teknologi pangan, dipelajari sifat fisis, mikrobiologis, dan kimia dari bahan pangan dan proses yang mengolah bahan pangan tersebut. Spesialisasinya beragam, di antaranya pemrosesan, pengawetan, pengemasan, penyimpanan, dan sebagainya.
Sejarah teknologi pangan dimulai ketika Nicolas Appert mengalengkan bahan pangan, sebuah proses yang masih terus berlangsung hingga saat ini. Namun ketika itu, Nicolas Appert mengaplikasikannya tidak berdasarkan ilmu pengetahuan terkait pangan. Aplikasi teknologi pangan berdasarkan ilmu pengetahuan dimulai oleh Louis Pasteur ketika mencoba untuk mencegah kerusakan akibat mikroba pada fasilitas fermentasi anggur setelah melakukan penelitian terhadap anggur yang terinfeksi.

B.   PENGERTIAN
-         Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia sehingga pemenuhannya menjadi salah satu hak asasi yang harus dipenuhi secara bersama-sama oleh negara dan masyarakatnya. Pemerintah Indonesia selalu berupaya untuk mencapai kemakmuran rakyat indonesia, salah satunya adalah meningkatkan ketahanan pangan nasional. Pangan merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh setiap manusia.Salah satunya adalah kebutuhan akan beras, di Indonesia beras merupakan salah satu makanan pokok.
-         Teknologi pangan adalah suatu teknologi yang menerapkan ilmu pengetahuan tentang bahan pangan khususnya setelah panen (pasca panen) guna memperoleh manfaatnya seoptimal mungkin sekaligus dapat meningkatkan nilai tambah dari pangan tersebut.

C.   MANFAAT
Adanya teknologi pangan sangat mempengaruhi ketersediaan pangan. Alam menghasilkan bahan pangan secara berkala, sementara kebutuhan manusia akan pangan adalah rutin. Kita tidak mungkin menunda kebutuhan jasmani hingga masa panen tiba. Oleh karena itu, terciptalah teknologi pengawetan sehingga makanan dapat disimpan untuk jangka waktu yang cukup lama. Teknik pengawetan juga memungkinkan untuk mendistribusikan bahan pangan secara merata ke seluruh penjuru dunia. Dulu, orang-orang di Eropa tidak bisa menikmati makanan-makanan Asia. Tetapi sekarang karena teknologi pangan setiap bangsa dapat menikmati makanan khas bangsa lainnya.

D.   DAMPAK
  Teknologi secara umum berarti keseluruhan peralatan dan prosedur yang terus mengalami penyempurnaan, baik di lihat dari segi pencapaian tujuan maupun proses pelaksanaannya. Teknologi sebagai budidaya manusia dalam beradaptasi dengan alam sesuai dengan maksud dan tujuan manusia penggunanya. Alhasil teknologi adalah ide-ide manusia dalam mempermudah aktifitas pencapaian tujuan.
Aktifitas manusia yang dinamik dan cenderung berkembang tanpa batas sangat mempengaruhi keadaan lingkungan hidup. Industri yang mengalami laju pertumbuhan relatif cepat merupakan bagian dari teknologi. Teknologi industri sebagai teknologi yang modern memiliki andil besar dalam proses perubahan panas bumi.

                                                          BAB II
          TEKNOLOGI PANGAN DAN MAKANAN LOKAL PAPUA

A.       PEMBAHASAN
Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai keadaan geografis unik. Provinsi Papua merupakan Provinsi yang paling luas wilayahnya dari seluruh Provinsi di Indonesia. Luas Provinsi Papua ± 410.660 Kmatau merupakan ± 21% dari luas wilayah Indonesia. Lebih dari 75% masih tertutup oleh hutan-hutan tropis yang lebat, dengan ± 80% penduduknya masih dalam keadaan semi terisolir di daerah pedalaman (Sumber : DPRD Papua, 2013).
Dikelilingi oleh pegunungan Jayawijaya yang menjulang hingga daerah rawa yang membelah Papua melalui sungai Digul di selatan dan sungai Memberami di utara, membuat tanah Papua kaya akan keragaman hayati. Dari total luas tanah ± 410.660 Km2baru ± 100.000 Ha yang dimanfaatkan. Tanah yang potensial untuk tanah pertanian antara lain (a) tanah rawa pasang surut luasnya ± 76.553 Km2(b) tanah kering luasnya ± 58.625 Km(Sumber : DPRD Papua, 2013).
Karena kondisi alam ini, penduduk Papua mempunyai kebiasaan berbeda yang membentuk ciri khas tersendiri. Bukan hanya dari segi budaya, namun juga pola konsumsi masyarakat sebagai wujud adaptasi terhadap alam yang melingkupi. Untuk mencukupi kebutuhan pangan, masyarakat Papua memanfaatkan kekayaan alam yang tersedia sangat melimpah. Ubi jalar dan sagu merupakan dua jenis tanaman pangan yang menjadi sumber kecukupan kalori masyarakat Papua.
Ubi jalar merupakan komoditas penting di Papua karena merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk di pedalaman terutama di kawasan lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya.  di daerah pegunungan ketinggian dengan 1.650−2.700 m diatas permukaan laut tersebut, stok tanaman pangan yang ada terbatas.  Selain ubi jalar, secara ekologis sangat sedikit tanaman pangan yang mampu beradaptasi dan berproduksi dengan baik dengan menggunakan teknologi sederhana (Dimyati et al :1991 dalam Rauf, 2009).
Sama halnya dengan ubi jalar, sagu juga merupakan tanaman lokal yang menjadi sumber pangan masyarakat Papua. Sagu merupakan bahan pangan utama bagi masyarakat Papua yang tinggal di daerah pesisir. Daerah pesisir yang berair atau rawa merupakan tempat tumbuh berbagai jenis sagu. Pohon sagu di Papua tumbuh secara alami tanpa tindakan budi daya dari penduduk setempat (Rauf, 2009). Apalagi sebagian besar lahan di Papua yang potensial adalah berupa rawa, maka sagu merupakam sumber pangan melimpah bagi masyarakat.
Namun seiring dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tentang revolusi hijau yang menggenjot produksi padi secara massal, sehingga harga beras menjadi begitu murah,  posisi sagu dan ubi jalar sebagai makanan pokok masyarakat Papua pun mulai tergeser oleh beras (Budi: 2003 dalam Rauf, 2009). Hal ini setidaknya terlihat dari jumlah produksi serta lahan tanam ubi jalar yang terus menurun. 





Tabel 1. Luas panen, produksi, dan hasil ubi jalar di Provinsi Papua, 2003−2006.
Tabel 1
Sementara itu, luas panen dan produksi padi di Papua tiap tahun menunjukkan peningkatan, seperti yang tertera di tabel bawah ini. 
Tabel 2
Walaupun produksi padi dan luas lahannya terus meningkat, tapi berdasarkan peta kerawanan pangan nasional (2009) yang dikeluarkan oleh Badan Ketahanan Pangan, Provinsi Papua termasuk daerah yang mengalami kerawanan pangan parah dengan kategori defisit tinggi yang merupakan indicator terparah. Hal ini dikarenakan rasio antara tingkat produksi dan konsumsi tidak seimbang.
Beras sejak awal memang bukan merupakan makanan lokal Papua. Selain daerah geografisnya yang memang tidak cocok, beras juga bukan hasil kearifan lokal  Papua yang bersahabat dengan alam. Memaksakan beras menjadi makanan pokok dan meninggalkan sagu serta ubi jalar dari masyarakat Papua telah menghasilkan keadaan yang justru menjadikan Papua sebagai daerah dengan kerawanan pangan tinggi. Padahal melalui sagu dan ubi jalar itulah masyarakat Papua sejak dulu mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri. Tidak perlu menunggu atau mendatangkan pasokan pangan dari luar seperti sekarang ini.

B.     GIZI BURUK
Dengan adanya kendala terhadap ketahanan pangan tersebut juga dapat menimbulkan berbagai masalah gizi di Papua, disebabkan karena adanya keterbatasan dalam mengakses makanan yang nilai gizinya tinggi.
Masalah gizi buruk telah mengancam kelangsungan hidup anak-anak di Papua sebagai akibat kurangnya asupan makanan bergizi. Gizi buruk yang dialami anak-anak Papua sangat rentan terjangkit berbagai macam penyakit seperti tuberkulosis (TBC), malaria dan infeksi saluran pernapasan atas atau ispa.
Fakta telah menunjukan bahwa kekurangan gizi di Papua yang menimpa anak terus terjadi. Bahkan dalam Oxfam GB in Indonesia In Action, disebutkan di tahun 2005 ada sekitar 69,883 jiwa yang menderita gizi buruk di Papua. 58 orang diantaranya meninggal dunia. Jika dilihat secara keseluruhan, ternyata kasus kurang gizi dan gizi buruk di Papua sudah sangat memprihatinkan. Kepala Dinas Kesehatan Papua, dr. Tigor Silaban, pada September 2003 pernah mencatat sebanyak 27,3 % balita menderita kekurangan gizi. Prevalensi kurang gizi tertinggi disebutkan terdapat di Kabupaten Puncak Jaya, yakni 61,8 % dan yang terendah di Kabupaten Sorong, yaitu 20,2 %. Sedangkan rata-rata, prevalensi gizi buruk di Provinsi Papua sebesar 16 % dan gizi kurang 28,9 %.
Pada tahun 2005, angka kurang gizi di Papua sedikit menurun menjadi 14,3 %. Sedangkan  gizi buruk 3,7 %. Dengan demikian, total gizi kurang dan gizi buruk adalah sebesar 18,0 %. Menurut Silaban, tidak ada anak balita meninggal dunia karena masalah gizi. Kalaupun ada, hal itu akibat komplikasi dengan penyakit. Meski begitu, angka kematian balita masih cukup tinggi di Papua. Tahun 2003, menurut data Dinkes Papua, setiap tahun lebih dari 9.000 balita, atau 156 per 1.000 kelahiran hidup, di enam kabupaten meninggal dunia. Kematian bayi sebanyak 6.078 per tahun atau sekitar 112 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian ibu mencapai 578 per tahun atau sekitar 1.161 per 100.000 kelahiran hidup.
Data yang disampaikan UNICEF, PBB, pada Februari 2003 ternyata lebih memprihatinkan  lagi. Meski tidak disebutkan akibat gizi buruk namun kematian bayi pada sejumlah daerah miskin di Indonesia, tetap menjadi perhatian serius badan internasional itu. Termasuk juga di Papua. UNICEF menyebutkan, angka kematian bayi dan balita di Papua adalah tertinggi di dunia, yakni mencapai 186/1000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi 122/1000 kelahiran hidup. Selain itu, 12% anak-anak balita di Papua menderita kekurangan berat badan yang parah. Untuk angka kesehatan ibu dan anak, UNICEF memperkirakan 3,000 orang anak dari 60,000 bayi yang baru lahir meninggal sebelum mencapai usia satu tahun. Sedangkan untuk balita, dari 1000 anak, 60 di antaranya meninggal dunia. Begitu pun ibu. Dari 100.000 kelahiran hidup, 500 di antaranya meninggal dunia.
                                                                  
Namun demikian, hingga kini produk pangan lokal Indonesia belum mampu untuk mematahkan dominasi pangan dari beras atau tepung terigu. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya inovasi teknologi terhadap produk pangan lokal tersebut. Di sisi lain, di era global ini, tuntutan konsumen terhadap pangan terus berkembang. Selera konsumen menjadi faktor yang sangat penting untuk diperhatikan oleh setiap produsen. Di samping itu, Inovasi teknologi terhadap pangan lokal bukan saja terhadap aspek mutu, gizi, dan keamanan yang selama ini didengungkan oleh berbagai pihak. Inovasi teknologi juga harus menyentuh aspek preferensi konsumen, yaitu kesesuaian; baik kesesuaian terhadap selera, kebiasaan, kesukaan; kebudayaan, atau terlebih lagi terhadap kepercayaan/agama.




















                                                          BAB III
                                                     PENUTUP
A.   KESIMPULAN

Provinsi Papua merupakan salah satu daerah yang memiliki keragaman sumber daya hayati yang cukup tinggi, termasuk tanaman sumber pangan lokal. Sumber pangan lokal Papua yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat adalah ubi jalar, talas, sagu, gembili, dan jawawut. Pangan lokal tersebut telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Papua. Masyarakat yang berdomisili di daerah pegunungan umumnya mengonsumsi ubi jalar, talas, dan gembili, sedangkan yang tinggal di pantai memanfaatkan sagu sebagai pangan pokok. Beberapa jenis ubi jalar, talas, dan sagu telah beradaptasi dengan baik dan dikonsumsi masyarakat Papua secara turun temurun. Dengan demikian, komoditas tersebut perlu dikembangkan sebagai sumber pangan utama bagi masyarakat
sehingga mengurangi ketergantungan pada pangan yang berasal dari beras. Selain digunakan sebagai sumber pangan utama dan untuk upacara adat, komoditas pangan lokal Papua juga telah dikembangkan menjadi produk olahan seperti kue kering yang dikelola dalam skala industri rumah tangga. Tulisan ini membahas pemanfaatan pangan lokal Papua sebagai sumber pangan alternatif yang diharapkan dapat menjadi sumber pangan untuk mendukung ketahanan pangan pada tingkat regional maupun nasional.




B.   SARAN
meskipun penulisan   makalah ini jauh dari sempurna dan Masih banyak kesalahan dalam penulisan makalah saya membutuhkan  saran/ kritikan dari ibu agar bisa menjadi motivasi  saya untuk penluisan makalah ke depan yang lebih baik dari pada yang sekarang ini.




















DAFTAR PUSTAKA
Badan Ketahanan Pangan. 2009. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia. Diakses darihttp://bkp.deptan.go.id/file/petapangan/FSVA_Report.pdf
http://www.badanketahananpangan.com/Rauf, A. Wahid,Martina Sri Lestari. 2009. Pemanfaatan Komoditas Pangan Lokal Sebagai Sumber Pangan Alternatif Di Papua. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua, Diakses DariHttp://Pustaka.Litbang.Deptan.Go.Id/Publikasi/P3282093.pdf


Tidak ada komentar:

Posting Komentar